FOR MORE ANOTHER NOVEL, SYNOPSIS, BOOK'S, EDITING AND BLOGS

Tuesday, April 22, 2008

Della Brown: Keajaiban sebuah lirik dan lagu

Della Brown

You've got a cardboard house
Live there all the time
Keep your memories tied with string
The face that many once adored
Twenty years gone maybe more
Somewhere you lost the dream
Mama watched your every move, but now you're all alone
She's been gone for awhile
Daddy left some time ago, fading years pass too slow
He's the only one, could make you smile

Oh, you're still crying

Big city bound
Gona make your mark
Read your name in the lights
All the ads and people say, beauty lets you get you way
Tried your best to prove them right
But living on the streets ain't bad, sad people make you glad
Pardon me, could you spare some change

Oh, you're still crying

Street corner girl
Watch the crowd go by
Fill your tin can with life
Summer days tend to slip away
Like your men you couldn't make them stay
Hard to choose, whiskey or a wife
Sometimes you wonder where's the end
Where you goin' where you been?
Happiness seems so hard to win
Most never care to find
Della Brown sees it al the time
Looking for that man to make her smile again<

Oh, you're still crying

Ceritanya:

Pada tahun 1993, saya diberikan album very best of Queensryche oleh
teman saya yang bernama Iwan Babon.Yang jelas pada waktu itu di Indonesia,
tidak ada satu pun toko kaset yang menjual koleksi album kelompok musik itu.
Entah mengapa? Mungkin karena di negara ini, kelompok musik itu tidak terkenal.
Namanya juga Indonesia, yang dijual hanyalah yang bisa dikomersialkan.

Jadi beruntung sekali kalau saya bisa ikut menikmati lagu itu pada akhirnya.

Pada akhirnya juga, album very best of Queensryche ini hilang. Tidak tahu ke mana. Ya sudah takdir.

Tahun 2007 kemarin, sewaktu ramai-ramainya pengguna internet menyambut
hadirnya situs YouTube, saya pun tidak pikir panjang dan segera
meramban DELLA BROWN.

Yang terjadi adalah sebuah keajaiban.

Ketika telingan saya menangkap alunan musiknya,
seketika saya—selama beberapa detik—tengah berada di sebuah
rentetan panjang hari-hari yang kalau dikumpulkan bernama bulan
dan bila dipadatkan lagi bernama tahun 1993.

Only one glance, but I saw everything. I can smell that years.

Pengalaman spiritual melalui sebuah lagu yang berkisah
tentang sebuah jalan (Della Brown).

Memang berbeda antara diri saya yang dahulu itu dan diri saya yang kini.
Dahulu, saya belum berperang, belum angkata senjata melawan
materialisme dan kapitalisme. Saya masih berupa seorang seniman yang
dibuai leh keindahan dunia. Itu teramat berbeda kini. Kini saya sudah
mengenal siapa musuh saya, di mana komunitas saya, dan apa yang harus
saya persiapkan untuk memenangkan pertarungan ini.

Tapi bagaimana juga masih ada persamaan antara saya yang dahulu itu
dan saya kini. Yaitu, saya belum juga menemukan seorang kekasih yang
benar-benar saya cintai.
Read More…
FOR MORE ANOTHER NOVEL, SYNOPSIS, BOOK'S, EDITING AND BLOGS

Monday, April 21, 2008

Kecantikan wanita itu memang membutakan mata

Sebenarnya saya sudah berjanji untuk tidak bersikap reaktif. Terhadap hal apa pun. Penyebabnya adalah dua hal:
1. Sikap saya ini pernah dikritisi oleh seorang kawan.
2. Bersikap reaktif hanya mematikan kreatifitas.

Oleh karena itu, saya berjanji tidak lagi bersikap seperti itu.
Namun, kali ini, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan saya. Saya harus bersikap reaktif. Nada protes ini harus dilontarkan. Memangnya siapa saya? saya berhak menyatakan ketidaksukaan saya atas sebuah fenomena yang saya lihat beberapa hari ini.

Ceritanya begini:
Pernah suatu hari saya mengundang seorang teman (Si A) datang ke rumah untuk berkenalan dengan kawan saya (sebut saja si B, yang kebetulan sedang bermalam di rumah). Si B adalah orang miskin, tampangnya jelek, dan agak sinting. Pengertian sinting di sini adalah sering membicarakan hal-hal yang tidak masuk akal (seperti melihat Jin, menyembuhkan orang, bertemu Rasulullah saw, mengetahui perjalanan hidup seseorang, dan sejenisnya). Tapi saya jatuh hati dengan si B yang sinting ini. Kalian tahu mengapa? Karena dia polos, baik hati, pemurah, dan si B pernah menyembuhkan penyakit yang diderita ibu saya tanpa
meminta sepeser pun bayaran. Bahkan, si B malah memberikan ibu saya uang. Padahal sepulangnya dari rumah, si B tidak naik angkot, tapi berjalan kaki karena uangnya sudah diberikan kepada ibu saya tadi. Singkatnya, si B adalah pribadi yang mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Jadi biarpun dia jelek, berkulit hitam, miskin, dan terutama SINTING, saya sudah terlanjur jatuh hati.

Maka itu saya ingin agar kawan dekat saya yaitu si A, mengenalnya.

Perkenalan berlangsung sekitar dua jam. Dan pada kesempatan itu si B bercerita tentang pengalamannya sewaktu masih berada di daerah Timor Leste (dulu bernama Timor Timur). Yang diceritakannya adalah mulai dari makan daging buaya, kucing, memeluk agama kristen, sampai masuk agama islam, bertemu dengan seorang waliyullah, hingga bertemu dengan Rasul saw dan sahabat Umar.

Mendengar apa yang diceritakannya itu, si A jelas tidak setuju, karena bertentangan dengan ushuluddin atau pondasi agama yang diyakini si A, berikut prinsip-prinsip yang sudah dibangun oleh para pendahulu, atau apalah namanya. Kalau saya sih—yang hanya coba memperkenalkan mereka berdua—sudah tidak berurusan lagi dengan hal-hal yang menjemukan dan bikin bosan seperti itu. Cape deh!!! Komentar “miring” si A tentang si B pun disampaikan kepada saya. Saya pun merasa tidak enak hati dan sedikit merasa malu. Jangan-jangan tindakan saya ini adalah tindakan yang terbodoh bagi si A.

Setelah si A pulang, si B berkata, “Saya tahu kalau si A itu Cuma mau ngetes saya saja, tapi dia orangnya berbakat dalam profesinya.”

Singkatnya, keesokan harinya, di sebuah tulisan yang dipublikasikan untuk umum, muncul sebuah komentar si A tentang si B. Intinya dia meragukan kapasitas (kewaliyan, kesucian, kebenaran, atau apa saja lah namanya (sekali lagi saya sudah bosan bicara tentang hal yang berhubungan dengan ini).

Baik! Hal itu sah-sah saja saya terima. Saya yakin Tuhan di atas sana juga menerima berbagai keberatan ini. Yang saya tidak terima adalah penyebutan tentang cacat (kekurangan dalam berbicara, buruk rupa, dan warna kulit) si B yang diungkapkan secara umum oleh si A. Bukankah Rasulullah melalui menantunya sayidina Ali pernah berkata, “menyebut-nyebut cacat seseorang walaupun hanya selembar uban pada rambutnya adalah dosa.”?

Baik! Segera lupakan hal itu. Karena ingatlah, saya sudah mulai reaktif. Saya kembali menjadi orang yang penuh reaksi. Saya takut nanti akan ada orang yang berseloroh “cape deeeh!!” bila sedang mendengarkan pembicaraan saya. Jadi segera lupakan. Maksudnya, bersiaplah menyabut reaksi Anda sekalian setelah mendengar cerita berikut ini:

Ada seorang mantan model iklan yang tengah mendalami kajian sufisme. Wajahnya cantik, body-nya aduhaiii, tinggi semampai, dan friendly. Biar lengkap urutan abjadnya, mari kita sebut si C (A, B, dan C). Si C—kemungkinannya mantan hedonis dan glamor—kini sudah menjadi seorang wanita solehah. Rajin berzikir, mengkaji spiritual, puasa, dan lain sebagainya. Pernah satu kali saya melihat si A masuk ke musallah berdua si C. Rupanya mereka melakukan salat berjamaah. Tapi demi Tuhan yang Maha Melihat, saya tidak tahu siapa yang menjadi imam, dan siapa yang menjadi makmum. Beberapa hari setelahnya, si A mengungkapkan bahwa dengan peristiwa fenomenal itu—yaitu berjamaah dengan model cantik yang kini menjadi praktisi sufisme—ia seperti merasakan adanya gelombang spiritual yang dahsyat.

A room with a view. Walaupun saya sudah bosan membicarakan, mengamati, menelusuri bicarak hal-hal seperti ini (kesufian, kewalian, atau apa saja namanya), tapi saya memang mantan praktisi hal tersebut. Cukup lama loh, sekitar 5 tahunan. Jadi saya tahu benar siapa sajakah orang yang memang memiliki gelombang spiritual. Saya bisa merasakannya. Dan menurut pengamatan saya, si C itu hanya baru tertarik dengan hal-hal spiritual, tapi belum menjadi makhluk spiritual. Entah esok lusa, bukan mustahil kalau si C bisa berprestasi gemilang dengan ketertarikannya itu. Tapi bukan sekarang. Dia masih sebatas tertarik saja.

Kalau mau berprestasi di bidang spiritual, wah itu susah mas, de’, mbak’, tuan, raden, koh, wan, pak dan bu dan lain sebagainya. Itu tidak bisa dengan sekadar tertarik, tapi minimal harus memiliki beberapa karakteristik: selain puasa, zikir, dan berbuat baik kepada manusia, maka dia harus:
1. Sadar bahwa Allah itu ada
2. Sadar bahwa kenikmatan dunia hanya sementara
3. Siap siaga jika diberi kemiskinan
4. Materi bukan segala-galanya
5. Membela keadilan
6. Membenci kezaliman
7. Mementingkan orang lain dari pada diri sendiri.

Saya baru melihat si C itu hanya puasa, zikir, salat malam, mengkaji keagamaan, dan hal-hal kecil yang siapa pun termasuk saya mudah saja untuk melakukannya.

Kalau si B saja—yang bukan sekadar hari puasa besok makan, tapi sudah merelakan uang ongkosnya untuk seseorang dan entah berapa banyak lagi pengorbanannya terhadap orang lain yang tidak saya ketahui—tidak dapat dirasakan gelombangnya oleh si A, lalu bagaimana bisa si A merasakannya sebuah gelombang terhadap si C? Padahal kan si C belum diketahui sudah melakukan salah satu atau barang dua dari ketujuh poin di atas?

Yang saya khawatirkan adalah gelombang spiritual itu hanyalah hadir lantaran kecantikan, dan itu namanya syahwat. Saya khawatir, takut-takut kalau besok-besok akan muncul aliran sufi atau tarekat yang bernama bukan al-Qadariyah, Naqsabandiyah, Al-Tijaniyah, tapi minimal al-jamiliya (kecantikan) atau malah parahnya adalah al-Syahwatiyah (hawa nafsu). Saya khawatir kalau pengikutnya akan banyak, dan itu hanya membuat saya semakin cape deh, atau bosan dengan hal-hal yang menjemukan ini. Mudah-mudahan masih banyak orang selain saya yang tidak cape deh atas hal-hal seperti ini. Mudah-mudahan. Ampuun dan mohon maaf ya kalau saya reaktif.
Read More…
FOR MORE ANOTHER NOVEL, SYNOPSIS, BOOK'S, EDITING AND BLOGS

Insearch of Fatima by Ghada Karmi

Suatu hari di tahun 1948, di sebuah kota bernama Tulkarm, Palestina. Sekitar 5 anggota keluarga terlihat amat sibuk mengemas barang-barang dan bergegas menuju mobil yang berada di halaman rumah mereka, yang akan dinaikinya. Tampak rona kapanikan di setiap wajah mereka, bercampur dengan aroma ketegangan. Seakan ada sebuah keadaan darurat, yang menuntut mereka untuk sesegera mungkin pergi, dan menuju tempat tertentu. Tak lama, mobil tua yang ditumpangi itu meluncur cepat, secepat rasa takut yang menghinggapi penumpangnya. Di dalam mobil, seorang bocah perempuan tampak menangis sedih sembari menoleh ke arah seorang perempuan yang berdiri di depan rumah yang ditinggalkan, tak ikut dalam rombongan tersebut. Ada kesedihan mendalam yang dipendam keduanya, dari takdir perpisahan itu.

Si bocah kecil adalah Ghada Karmi, penulis buku ini. Adapun wanita yang ditinggalkan bernama Fatima, nama yang menjadi inspirasi judul buku ini. Fatima bukanlah ibu Karmi, atau juga sanak familinya. Ia hanyalah seorang pembantu, merangkap sebagai pengasuh, di keluarga besar Karmi. Namun tidak sesederhana itu bagi Karmi. Ada relasi khusus nun kuat yang terjalin antara dirinya dengan Fatima. Lebih kuat dari pertalian psikisnya dengan sang ibu sendiri. Bahkan, Fatima berhasil menempati ruang kosong yang ditinggalkan ibu Karmi, disebabkan kesibukannya dalam menjalin relasi sosial dengan kawan wanitanya di luar rumah.

Penggalan cerita diatas adalah saat dimana keluarga Karmi harus mengungsi ke Damaskus, Suriah, disebabkan kondisi politik dan keamanan Palestina yang semakin tidak stabil akibat serangan sebuah ‘kelompok', pada tahun 1948, yang akhirnya berhasil membentuk sebuah negara bernama Israel. Awalnya, dipastikan bahwa eksodus ke Suriah tidak akan lama. Maka dari itu, Fatima tak ikut serta dan lebih memilih untuk menjaga rumah. Tapi keadaan berkata lain. Jutru di Damaskus lah keluarga Karmi tak tinggal lama, karena tak beberapa lama kemudian mereka eksodus ke sebuah negeri yang lebih jauh, Inggris. Di negeri inilah, mereka tinggal selamanya, menjadi bagian dari warga Palestina yang keluar (terusir) dari negaranya sebagai korban perang Arab-Israel.

Buku ini ditulis oleh Karmi sendiri. Berbentuk sebuah memoar, dalam buku ini Karmi menceritakan jalan hidup yang dilaluinya sebagai seorang Palestina yang ‘menumpang' di negeri orang. Aneka persoalan dihadapinya. Mulai dari problem sosial, ekonomi, budaya hingga yang paling pelik, menyangkut masalah identitas. Tinggal di Inggris, namun hadir sebagai seorang Palestina, bukanlah sebuah kondisi yang mudah untuk dijalani. Ada sebuah pergulatan identitas di sini. Meleburkan sepenuhnya eksistensi diri sebagai orang Inggris, atau tetap mempertahankan jati diri ke-Palestina-annya? Belum lagi keterpecahan kultural yang dihadapinya: antara budaya Palestina yang tetap menjadi tradisi kuat keluarga dengan kultur Eropa yang menjadi pemandangan keseharian Karmi tatkala menjalin relasi sosial. Problematika ini menjadi semakin pelik tatkala isu agama juga meruak ke permukaan. Salah satu problem akut yang dihadapi Karmi adalah tatkala ia memutuskan untuk menikah dengan seorang lelaki ‘bukan Palestina'. Seluruh elemen keluarga menentang. Terutama ibu Karmi. Ini salah satu bentuk benturan sosial-kultural yang dihadapi Karmi, yang dikisahkannya secara menarik dalam bukunya ini.

Demikian juga menyangkut aspek keagamaan, sebuah isu yang menjadi sentral dalam kontek konflik antara Israel (Yahudi) dan Palestina (Islam). Di London, Karmi merasakan adanya stigma kuat terkait dengan hal itu. Konflik di tanah airnya, acapkali terbawa dan menular pada jalinan relasinya dengan beberapa kawan Yahudinya. Namun uniknya, Karmi juga memiliki seorang kawan karib yang juga menganut Yahudi. Karmi seakan hendak menegaskan bahwa pada dasarnya perbedaan agama bukanlah sebuah persoalan. Sang penganutnyalah yang menjadikan itu problem dan pisau pemecah belah.

Secara khusus, buku ini merupakan potret kehidupan sebuah keluarga Palestina yang terpaksa eksodus keluar negaranya, pada detik-detik berdirinya negara Israel. Fenomena ini umum dialami ribuan keluarga Palestina pada tahun 1948 an. Kisah yang dituangkan Karmi dalam bukunya ini, merupakan representasi perjalanan hidup banyak keluarga Palestina yang eksodus ke negara Eropa, dengan aneka ragam lika-liku hidup yang dilaluinya. Berpuluh tahun mereka meninggalkan tanah airnya, bahkan hingga turun temurun. Terjadi proses akulturasi budaya disini. Mereka tumbuh menjadi seorang dengan karakter hasil perpaduan antara jati diri Palestinanya, dan pengaruh kuat Inggris. Jadilah mereka seorang “Palestina-Inggris”.

Kembali ke persoalan Fatima. Walaupun menjadi tema sentral judul buku ini, namun secara umum buku ini tidaklah menonjolkan sosok Fatima secara dominan. Kita dapt menemukan pemaparan sosoknya pada beberap bab awal dan akhir buku ini. Fatima digambarkan sebagai representasi wanita ideal Palestina, dengan berbagai kekhasan personalitas yang menjadi karakternya: penyayang, budiman, elok, dingin, namun memendam kekuatan personal yang dahsyat sebagai seorang perempuan. Fatima mampu untuk tetap tegar di tengah kondisi negerinya yang dirundung perang. Sebagai seorang pengasuh, menjaga keselamatan Karmi dan para saudaranya, menjadi prioritas utama Fatima. Itulah yang membuat Fatima demikian spesial di hati Karmi, melebihi posisi ibunya sendiri.

Walaupun diwujudkan dalam sosok Fatima, kita akhirnya akan tahu bahwa perempuan itu merupakan simbolisasi Karmi atas negeri tanah tumpah darahnya, Palestina. Fatima adalah Palestina itu sendiri dengan aneka ragam karakterisitik yang dimilikinya. Kerinduan Karmi pada Fatima yang terakhir kali dilihatnya dari kaca jendela mobil tua, mensimbolisasikan rasa rindunya yang mendalam pada negeri Palestina yang tak pernah dilihatnya sejak saat itu.

Kita pun menjadi mafhum, bahwa jika buku ini berjudul Mencari Fatima . Maka yang dimaksud Karmi dengan nama itu bukan semata ibu asuhnya tersebut. Tapi juga negeri kelahirannya, tempat dimana ia menghembuskan nafas pertamanya. Apakah akhirnya Karmi menemukan ‘Fatima' yang dicarinya? Jawabannya ada pada buku ini. Selamat membaca!

Labels:

Read More…
FOR MORE ANOTHER NOVEL, SYNOPSIS, BOOK'S, EDITING AND BLOGS

Wednesday, April 9, 2008

Ini cuma Tester

ini cuma gerakan mencoba blog ini . Terima kasih


dan ini untuk memotong bagian yang ingin di sembunyikan

Labels:

Read More…