FOR MORE ANOTHER NOVEL, SYNOPSIS, BOOK'S, EDITING AND BLOGS

Monday, April 21, 2008

Kecantikan wanita itu memang membutakan mata

Sebenarnya saya sudah berjanji untuk tidak bersikap reaktif. Terhadap hal apa pun. Penyebabnya adalah dua hal:
1. Sikap saya ini pernah dikritisi oleh seorang kawan.
2. Bersikap reaktif hanya mematikan kreatifitas.

Oleh karena itu, saya berjanji tidak lagi bersikap seperti itu.
Namun, kali ini, saya tidak bisa menyembunyikan perasaan saya. Saya harus bersikap reaktif. Nada protes ini harus dilontarkan. Memangnya siapa saya? saya berhak menyatakan ketidaksukaan saya atas sebuah fenomena yang saya lihat beberapa hari ini.

Ceritanya begini:
Pernah suatu hari saya mengundang seorang teman (Si A) datang ke rumah untuk berkenalan dengan kawan saya (sebut saja si B, yang kebetulan sedang bermalam di rumah). Si B adalah orang miskin, tampangnya jelek, dan agak sinting. Pengertian sinting di sini adalah sering membicarakan hal-hal yang tidak masuk akal (seperti melihat Jin, menyembuhkan orang, bertemu Rasulullah saw, mengetahui perjalanan hidup seseorang, dan sejenisnya). Tapi saya jatuh hati dengan si B yang sinting ini. Kalian tahu mengapa? Karena dia polos, baik hati, pemurah, dan si B pernah menyembuhkan penyakit yang diderita ibu saya tanpa
meminta sepeser pun bayaran. Bahkan, si B malah memberikan ibu saya uang. Padahal sepulangnya dari rumah, si B tidak naik angkot, tapi berjalan kaki karena uangnya sudah diberikan kepada ibu saya tadi. Singkatnya, si B adalah pribadi yang mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Jadi biarpun dia jelek, berkulit hitam, miskin, dan terutama SINTING, saya sudah terlanjur jatuh hati.

Maka itu saya ingin agar kawan dekat saya yaitu si A, mengenalnya.

Perkenalan berlangsung sekitar dua jam. Dan pada kesempatan itu si B bercerita tentang pengalamannya sewaktu masih berada di daerah Timor Leste (dulu bernama Timor Timur). Yang diceritakannya adalah mulai dari makan daging buaya, kucing, memeluk agama kristen, sampai masuk agama islam, bertemu dengan seorang waliyullah, hingga bertemu dengan Rasul saw dan sahabat Umar.

Mendengar apa yang diceritakannya itu, si A jelas tidak setuju, karena bertentangan dengan ushuluddin atau pondasi agama yang diyakini si A, berikut prinsip-prinsip yang sudah dibangun oleh para pendahulu, atau apalah namanya. Kalau saya sih—yang hanya coba memperkenalkan mereka berdua—sudah tidak berurusan lagi dengan hal-hal yang menjemukan dan bikin bosan seperti itu. Cape deh!!! Komentar “miring” si A tentang si B pun disampaikan kepada saya. Saya pun merasa tidak enak hati dan sedikit merasa malu. Jangan-jangan tindakan saya ini adalah tindakan yang terbodoh bagi si A.

Setelah si A pulang, si B berkata, “Saya tahu kalau si A itu Cuma mau ngetes saya saja, tapi dia orangnya berbakat dalam profesinya.”

Singkatnya, keesokan harinya, di sebuah tulisan yang dipublikasikan untuk umum, muncul sebuah komentar si A tentang si B. Intinya dia meragukan kapasitas (kewaliyan, kesucian, kebenaran, atau apa saja lah namanya (sekali lagi saya sudah bosan bicara tentang hal yang berhubungan dengan ini).

Baik! Hal itu sah-sah saja saya terima. Saya yakin Tuhan di atas sana juga menerima berbagai keberatan ini. Yang saya tidak terima adalah penyebutan tentang cacat (kekurangan dalam berbicara, buruk rupa, dan warna kulit) si B yang diungkapkan secara umum oleh si A. Bukankah Rasulullah melalui menantunya sayidina Ali pernah berkata, “menyebut-nyebut cacat seseorang walaupun hanya selembar uban pada rambutnya adalah dosa.”?

Baik! Segera lupakan hal itu. Karena ingatlah, saya sudah mulai reaktif. Saya kembali menjadi orang yang penuh reaksi. Saya takut nanti akan ada orang yang berseloroh “cape deeeh!!” bila sedang mendengarkan pembicaraan saya. Jadi segera lupakan. Maksudnya, bersiaplah menyabut reaksi Anda sekalian setelah mendengar cerita berikut ini:

Ada seorang mantan model iklan yang tengah mendalami kajian sufisme. Wajahnya cantik, body-nya aduhaiii, tinggi semampai, dan friendly. Biar lengkap urutan abjadnya, mari kita sebut si C (A, B, dan C). Si C—kemungkinannya mantan hedonis dan glamor—kini sudah menjadi seorang wanita solehah. Rajin berzikir, mengkaji spiritual, puasa, dan lain sebagainya. Pernah satu kali saya melihat si A masuk ke musallah berdua si C. Rupanya mereka melakukan salat berjamaah. Tapi demi Tuhan yang Maha Melihat, saya tidak tahu siapa yang menjadi imam, dan siapa yang menjadi makmum. Beberapa hari setelahnya, si A mengungkapkan bahwa dengan peristiwa fenomenal itu—yaitu berjamaah dengan model cantik yang kini menjadi praktisi sufisme—ia seperti merasakan adanya gelombang spiritual yang dahsyat.

A room with a view. Walaupun saya sudah bosan membicarakan, mengamati, menelusuri bicarak hal-hal seperti ini (kesufian, kewalian, atau apa saja namanya), tapi saya memang mantan praktisi hal tersebut. Cukup lama loh, sekitar 5 tahunan. Jadi saya tahu benar siapa sajakah orang yang memang memiliki gelombang spiritual. Saya bisa merasakannya. Dan menurut pengamatan saya, si C itu hanya baru tertarik dengan hal-hal spiritual, tapi belum menjadi makhluk spiritual. Entah esok lusa, bukan mustahil kalau si C bisa berprestasi gemilang dengan ketertarikannya itu. Tapi bukan sekarang. Dia masih sebatas tertarik saja.

Kalau mau berprestasi di bidang spiritual, wah itu susah mas, de’, mbak’, tuan, raden, koh, wan, pak dan bu dan lain sebagainya. Itu tidak bisa dengan sekadar tertarik, tapi minimal harus memiliki beberapa karakteristik: selain puasa, zikir, dan berbuat baik kepada manusia, maka dia harus:
1. Sadar bahwa Allah itu ada
2. Sadar bahwa kenikmatan dunia hanya sementara
3. Siap siaga jika diberi kemiskinan
4. Materi bukan segala-galanya
5. Membela keadilan
6. Membenci kezaliman
7. Mementingkan orang lain dari pada diri sendiri.

Saya baru melihat si C itu hanya puasa, zikir, salat malam, mengkaji keagamaan, dan hal-hal kecil yang siapa pun termasuk saya mudah saja untuk melakukannya.

Kalau si B saja—yang bukan sekadar hari puasa besok makan, tapi sudah merelakan uang ongkosnya untuk seseorang dan entah berapa banyak lagi pengorbanannya terhadap orang lain yang tidak saya ketahui—tidak dapat dirasakan gelombangnya oleh si A, lalu bagaimana bisa si A merasakannya sebuah gelombang terhadap si C? Padahal kan si C belum diketahui sudah melakukan salah satu atau barang dua dari ketujuh poin di atas?

Yang saya khawatirkan adalah gelombang spiritual itu hanyalah hadir lantaran kecantikan, dan itu namanya syahwat. Saya khawatir, takut-takut kalau besok-besok akan muncul aliran sufi atau tarekat yang bernama bukan al-Qadariyah, Naqsabandiyah, Al-Tijaniyah, tapi minimal al-jamiliya (kecantikan) atau malah parahnya adalah al-Syahwatiyah (hawa nafsu). Saya khawatir kalau pengikutnya akan banyak, dan itu hanya membuat saya semakin cape deh, atau bosan dengan hal-hal yang menjemukan ini. Mudah-mudahan masih banyak orang selain saya yang tidak cape deh atas hal-hal seperti ini. Mudah-mudahan. Ampuun dan mohon maaf ya kalau saya reaktif.